BincangSyariah.Com– Siapa yang tidak kenal dengan Syekh Izzudin bin Abdussalam? Salah ulama pembawa panji mazhab Imam Asy-Syafi’i yang paling terkemuka. Salah satu tokoh dan panutan yang pengetahuan dan kepiawaiannya tentang ilmu sangat luas dan pemahaman yang sangat dalam. Ia juga tumbuh sebagai sosok yang sangat terkenal kepandaiannya, karangannya pun sangat banyak.
Nama Lengkap dan Latar Belakang Keluarganya
Bernama lengkap Abdul Aziz Izzuddin bin Abdissalam bin Abil Qosim bin al-Hasan bin Muhammad as-Sulami ad-Dimasyq al-Mishry as-Syafi’i. Ia lebih dikenal sebagai Izzuddin bin Abdussalam dan merupakan ulama besar mazhab Syafi’i di abad ke-6 H.
Sebagaimana disebutkan di atas, nama ulama ini ialah Abdul Aziz, namun lebih populer (popular) dengan julukan Izzuddin atau Al-Izz. Gelar Izzuddin diberikan sesuai dengan adat pada masa itu. Setiap khalifah, sultan, pejabat, terlebih para ulama, diberi tambahan gelar pada namanya.
Gelar ini nantinya lebih melekat dalam dirinya. Sehingga ia lebih dikenal dengan nama Izzuddin bin Abdussalam atau Al-Izz bin Abdussalam.
Banyak gelar yang disematkan para ulama yang satu zaman kepadanya, di antaranya sebutan Sulthan al-Ulama (Pemimpin para Ulama), Ba‘i’ al-Muluk (Penjual raja-raja), Syaikhul Islam (Tuan Guru Islam), Ahadu A‘immah al-A’lam(salah seorang Imam terkemuka).
Julukan-julukan ini tentunya bukan tanpa alasan, setidaknya karena keilmuannya yang multidisiplin dan sangat diakui kredibilitas pada masanya dan zaman setelahnya.
Syekh Izzuddin bin Abdissalam lahir di Damaskus, Irak pada tahun 577 H. wafat pada tahun 660 H dan dimakamkan di pekuburan al-Qarrafah al-Kubra, Mesir. Ia dibesarkan dari keluarga miskin dan serba kekurangan. Ia juga bukan seorang keturunan raja atau ulama besar. Tak banyak catatan sejarah yang menceritakan masa kecilnya.
Namun para ulama sejarah sepakat bahwa Syekh Izzuddin bin Abdissalam dilahirkan dari keluarga miskin dan dari keturunan biasa. Oleh karenanya, sangat sedikit informasi yang didapat mengenai kehidupan masa kecil dan sejarah nenek moyangnya. Hal itu tidak lain karena ia bukanlah keturunan seorang ulama tersohor, orang terpandang, atau pemimpin pemerintahan.
Kondisi yang sangat memprihatinkan, dan kurangnya biaya untuk menuntut ilmu berdampak pada perjalanan intelektualnya. Sejak kecil, perjalanan keilmuannya tidak sempurna sebagaimana ulama-ulama lainnya. Ia lebih memilih jalan hidup dengan mencari nafkah dan bekerja untuk keluarga.
Akan tetapi, di sela-sela pekerjaannya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, ia tidak berhenti untuk terus belajar, meski dalam keadaan yang kurang mendukung. Bahkan, keadaan seperti itu tidak lantas menjadikannya hilang harapan untuk menjadi sosok yang bisa menguasai ilmu. Semangatnya sangat tinggi dan harapannya begitu besar.
Perjalanan Intelektual Syekh Izzudin
Sebagaimana tulisan di atas, perjalanan Intelektualitas Syekh Izzudin tidak semulus sebagaimana para ulama lainnya. Keluarga yang kurang mampu memperlambat perjalanan keilmuannya. Oleh karenanya, sejarah mengatakan bahwa beliau baru mulai menuntut ilmu pada usianya yang sudah tua.
Kendati pun ia baru memulai untuk menuntut ilmu pada usia tua, namun bersemangatnya dalam menghafalkan kitab dan giat belajar sangat tinggi. Secara berkala mengaji pada para ulama besar pada masanya, semua itu ia lakukan untuk menebus masa kecilnya yang tidak sempat mengenyam pendidikan karena keadaan keluarganya yang miskin.
Syekh Tajuddin As-Subki pernah merekam masa kecilnya dalam kitab biografi miliknya; Thobaqat as-Syafi’iyah Kubra. Dalam kitab tersebut As-Subki menggambarkan bagaimana perjuangan Izzudin bin Abdissalam ketika mencari ilmu.
Karena kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan ia baru bisa merasakan pendidikan di usia yang sudah tidak lagi muda. Ia pun setiap hari harus menginap di emperan Masjid Agung Umayah di Damaskus, karena tak punya bekal yang cukup. Namun beliau tetap menjalaninya dengan tekun dan sabar.
Suatu ketika, di malam yang sangat dingin. Seperti biasa, ia menginap di emperan masjid. Rasa lelah yang begitu mendera, membuat ia cepat tertidur. Memasuki tengah malam ia mengalami mimpi basah. Ia pun bergegas segera mandi di kolam di masjid tersebut.
Ia sempat ragu, karena saat itu cuaca di Damaskus sangatlah dingin. Terbersit di pikirannya untuk menundanya besok pagi. Namun cepat-cepat ia putuskan untuk tetap mandi saat itu juga. Tak peduli seberapa dingin airnya. Ia pun kembali tidur.
Tak disangka kejadian itu berulang hingga tiga kali dan ia selalu memaksa dirinya untuk mandi yang membuat ia harus tak sadarkan diri karena kedinginan. Di saat itu pula ia mendengar sebuah suara lirih: “Wahai Ibn Abdussalam apa yang engkau kehendaki ilmu atau amal?”
Spontan ia langsung menjawab, “Tentu saja ilmu, karena dengannya aku akan bisa beramal.”
Esoknya ia seakan mendapat futuh atau keterbukaan hati dari kejadian semalam. Berkat kegigihannya malam itu. Allah memberikan hidayah. Hatinya terasa begitu lapang. Hal itu ia buktikan dengan menghafal Kitab Tanbih karya Imam asy-Syairazi dalam waktu yang relatif singkat.
Ia pun terus menekuni ilmu, ia mendatangi ulama-ulama besar di masanya seperti Syeikh Syaifuddin al-Amid, Imam Fakhruddin Ibnu Asakir. Hingga akhirnya ia menjadi ulama besar di Damaskus.
Bahkan oleh muridnya, Syekh Ibnu Daqiqil ‘Id, ia dijuluki sebagai Sulthanul Ulama, Raja para ulama. Hal ini tidak lain karena kedalaman serta otoritasnya dalam keilmuan yang tidak diragukan lagi.
Syekh Izzudin di Mata Muridnya
Sebagai ulama yang sangat terkenal keilmuannya, tentu banyak orang-orang di masa itu yang hendak belajar kepadanya, misalnya Syekh Izzuddin Al-Husaini. Ia selain belajar kepada Syekh Izzudin bin Abdussalam, ia juga banyak belajar perihal bagaimana gurunya dalam menulis kitab.
Menurut pandangan muridnya itu, Syekh Izzudin adalah sosok sentral ilmu agama pada masanya yang menguasai berbagai disiplin keilmuan. Ia meriwayatkan hadits, mengajar, menyampaikan fatwa, mengarang kitab, memimpin majelis hukum di Mesir, menyampaikan khutbah di berbagai masjid, dan sebagainya, sebagai orang yang mendedikasikan hidup dengan pengetahuan agama.
Ia bagaikan lautan ilmu dan pengetahuan, sehingga banyak ulama yang mengatakan, “Ilmu Syaikh Al-Izz lebih banyak daripada karyanya.”
Kata-kata ini dapat dimengerti bahwa tidak semua pengetahuan seorang ulama dapat dicatat dalam bentuk tulisan. Kaliber pengetahuan seorang ulama, selain terlihat dari karya tulisnya, bisa dilihat juga dari karya-karyanya yang bergerak, yakni para murid, majelis ilmunya, dan catatan-catatan pihak lain yang menuliskan sepak terjang keilmuannya.
Ulama Produktif
Namun Syekh Al-Izz bin Abdussalam adalah sosok yang boleh dikatakan produktif di setiap lini kehidupannya. Dalam hal tulis-menulis, ditengarai, karya tercetaknya berjumlah 30 buah dan ada beberapa tulisannya yang belum tersebar secara luas.
Beberapa buah karyanya dapat disebutkan di antaranya kitab Al-Qawa’id al-Kubra, Al-Qawa’id ash-Shughra, Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Al-Ilmam fi Adillah al-Ahkam, Al-Fatawa al-Mishriyah, Al-Fatawa al-Maushuliyah, Majaz al-Qur’an, Bidayah as-Sul fi Tafdhil ar-rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Ada juga kitab, Syajarah al-Ma’arif, Kitab at-Tafsir, Al-Ghayah fi Ikhtishar an-Nihayah, Mukhtashar Shahih Muslim, Maqashid ash-Shalah, Al-Isyarah ila al-Ijaz, Maqashid ash-Shaum, Targhib Ahlal-Islam fi Sukn asy-Syam, Aqa’id asy-Syaikh ‘Izziddin, Kasyf al-Asrar ‘an Hukm ath-thuyur wa al-Azhar.
Salah satu karya terbaiknya adalah sebuah kitab yang diberi judul Qawa’idul Ahkam fi Mashalih al-Anam. Kitab ini menjelaskan berbagai maslahah yang terkandung dalam amal ibadah, muamalah, dan berbagai aktivitas seorang hamba Allah.
Dalam muqaddimahnya, Syaikh Izzuddin bin Abdissalama mengutarakan tujuan penulisan kitab ini, bahwa tujuan penulisan kitab ini untuk memberikan penjelasan berbagai maslahah dalam melakukan ketaatan, interaksi, dan tingkah laku, dengan harapan para hamba berupaya mencapainya; memberikan penjelasan mengenai madharat menentang ajaran Allah, agar mereka bisa menghindarinya.
Syekh al-Izz juga memberikan penjelasan mengenai maslahah berbagai ibadah, agar mereka melakukannya; penjelasan mengenai keutamaan sebagian kemaslahatan atas sebagian yang lain, dan diakhirkannya sebagian mafsadah (kerusakan) atas mafsadah yang lain; serta penjelasan mengenai perbuatan yang dilakukan oleh manusia yang ia tidak mempunyai kekuasaan untuk melakukannya.
Dari kisah inspiratif Syekh Izzudin atau Syekh al-Izz di atas, dapat kita simpulkan bahwa untuk menjadi orang alim tidak harus lahir dari keluarga alim dan berkecukupan, ia menjadi sosok pembawa harapan bahwa orang miskin juga mampu untuk tumbuh menjadi sosok orang alim yang keilmuannya diakui oleh para ulama.
Semangat dan tingginya cita-cita Syekh al-Izz pada akhirnya menunjukkan kepakarannya dalam ilmu fiqih, hadis, ushul fiqih, balaghah, tafsir dan lain-lain sebagai ulama yang disegani di Damaskus, Mesir, dan negara lainnya. Beberapa ulama pada masa itu menyebut bahwa Syekh Izzuddin telah mencapai derajat mujtahid.