
Ilustrasi – Aksi mahasiswa menuntut sita aset koruptor di depan Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (15/9/2018). (Foto: ANTARA/Vega)
KBR, Jakarta – Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Ivan Yustiavandana mengatakan, Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset dan Pembatasan Uang Kartal semestinya sudah layak diterapkan di Indonesia.
Ivan mengatakan saat ini PPATK dan para penegak hukum lain kerap mengalami hambatan saat menyita aset para tersangka kasus yang menyebabkan kerugian negara.
“Memang selama ini dalam beberapa kasus, PPATK dan para penegak hukum termasuk di Polri juga kesulitan saat menemukan tersangkanya sudah tidak ada lagi di Indonesia. Tapi harta kekayaannya sudah mengalir ke beberapa aset, terus kemudian bahkan meninggal,” ujar Ivan dalam Rapat Kerja Bersama Komisi III DPR, Selasa (5/4/2022).
Baca juga:
- Hukuman bagi Koruptor Tak Beri Efek Jera, RUU Perampasan Aset Kembali Digaungkan
- Hari Anti-Korupsi Sedunia, Jokowi Dorong RUU Perampasan Aset Disahkan Tahun Depan
Menurut Ivan, PPATK dan para penegak hukum lain memerlukan payung hukum yang kuat di dalam menindak aset pelaku pidana pencucian uang. Kata dia, konsepsi dasar filosofis RUU tersebut sudah diterapkan di beberapa negara.
“Jadi sekarang pemidanaan sudah ke harta kekayaan melawan negara, atau negara versus kekayaan. Di Amerika dan segala macam sudah dilakukan,” tuturnya.
Sebelumnya, RUU Perampasan Aset dan Pembatasan Uang Kartal belum menjadi prioritas pembahasan DPR dan pemerintah untuk tahun 2022.
RUU ini tidak masuk dalam daftar 40 RUU yang menjadi Prolegnas Prioritas Tahun 2022.
Padahal, tahun lalu, Menko Polhukam Mahfud Md pernah mengatakan bahwa pemerintah akan melanjutkan kembali pembahasan tentang Rancangan UU tersebut. Mahfud menyebut banyak pejabat yang takut RUU tersebut disahkan.
Baca juga:
- Pemerintah Minta DPR Prioritaskan RUU Perampasan Aset
- Paket Kebijakan Hukum, KPK Desak RUU Perampasan Aset Disahkan
Resky Novianto